Saturday, April 23, 2016

Rekor

Minggu ini aku baru saja membuat satu rekor dalam hidupku. Rekor yang sangat biasa dan mudah dilakukan oleh siapa saja. Tetapi bagi orang sepertiku, rekor ini cukup unik karena terbilang lucu dan sedikit norak. Aku memang suka membaca tetapi kecepatan membacaku terhitung sangat lambat. Bahkan jika boleh dibandingkan jauh lebih cepat laju kura-kura di dalam kardus yang dibawa bocah ingusan saat berkendara sepeda motor daripada kemampuan membacaku saat ini. Keuletan adalah kata lain dari namaku.

Sepekan ini aku baru saja selesai membaca dua buah buku sekaligus. Pertama, Sabtu Bersama Bapak yang ditulis oleh Adhitya Mulya dan kedua, Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi dengan penulisnya adalah Aan Mansyur, idolaku.

Aku membutuhkan lima hari untuk menyelesaikan Sabtu Bersama Bapak dan rekor mulai tercipta saat aku jatuh didunia kesepian dan kesunyian bernama Aan Mansyur. Aku hanya butuh satu hari dan mungkin kurang untuk mengkhatami Lelaki Terakhir yang Menangis di Bumi. Ini hal yang baru bagiku, biasanya aku menghabiskan beberapa hari untuk menelan habis satu buah buku. Rekor yang norak bukan? haha. Dan sampai saat ini, aku masih bertanya-tanya, Apakah tokoh Jiwa dan Nanti benar-benar ada? atau fiktif belaka. Aku kira itu karangan mas Aan saja.

Di bawah meja belajarku masih tersisa novel yang sama sekali belum aku sentuh dan sampai-sampai aroma khas buku barunya sudah lenyap. Tak sadar novel tersebut sudah lama aku beli. Aku bahkan lupa kapan tepat membelinya. Masih terdapat beberapa novel bagus yang menunggu dibaca, Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan dan Ayat-Ayat Cinta 2 milik Habiburrahman El Shirazy. Menarik.

Friday, April 22, 2016

Senandung Lirih

Semalam, aku tidur lebih cepat dari biasanya. Kira-kira pukul sembilan malam lampu kamar sudah ku matikan. Kepalaku tiba-tiba pusing . Aku tak tahu sebabnya atau mungkin karena aku baru mengetahui bahwa engkau telah menemukan penggantiku hanya empat bulan setelah kita sepakat untuk berpisah. Tepat.

Empat bulan terhitung cepat sekali dibandingkan dengan aku di sini, hampir dua tahun aku menutup rapat hatiku untuk yang lain. Selama itu pula aku berharap engkau untuk kembali. Karena ku yakin bahwa aku adalah rumahmu. Kita adalah surga kecil saat itu.

Kini, aku coba perlahan untuk menjauh dari jurang pengharapanku. Aku perbaiki rumah ini untuk penghuni yang baru. Entah kapan ia akan datang. Tapi satu hal yang aku syukuri sekarang, rumah ini semakin indah setelah engkau tiada.

Semoga engkau dapatkan apa yang kau cari, yang tak kau temui dariku. Doa ini tulus karena engkau dahulu adalah separuh jiwaku.

Kini, kehilangan tidak perlu sesal. Ia akan kembali kepadaku dalam wujud yang lain yang tidak kalah baiknya.

Ditulis bersama segelas kopi yang diaduk lembut oleh lagu Senandung Lirih milik Om Iwan Fals.